Sabtu, 23 Juli 2011

Ibu yang mulia (っ˘з(˘⌣˘ )

--->> Islam telah menetapkan bahwa fungsi dan kedudukan wanita dalam Islam
adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Kaedah syara’
Tugas utama wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Tugas utama ini tidak bisa digantikan, karena Allah SWT telah
menetapkan bahwa perempuanlah tempat “persemaian” generasi manusia dan tempat
menghasilkan ASI sebagai makanan terbaik di awal kehidupannya. Tanpa keikhlasan
dan kerelaan seorang ibu memelihara janin yang dikandungnya selama 9 bulan,
tidak akan lahir manusia ke bumi ini. Demikian pula kerelaan dan kesabaran
seorang ibu ketika menyusui dan mengasuh bayinya, berperan besar terhadap


pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan anak. Posisi seorang wanita yang ridho
dengan kehamilannya sebanding (dari segi pahala) dengan prajurit yang berperang
di jalan Allah sedangkan ia sedang berpuasa.
Rasulullah


SAW bersabda: “Apakah tidak rela seorang dari kamu wahai wanita, bahwasanya
apabila dia hamil dari suaminya sedang suaminya ridho padanya, dia memperoleh
pahala seperti pahala orang berpuasa yang aktif berjihad di jalan Allah.
Apabila dia merasa sakit (akan melahirkan), maka penduduk langit dan bumi belum
pernah melihat pahala yang disediakan padanya dari pandangan mata (sangat
menyenangkan). Maka ketika ia telah melahirkan, tiadalah keluar seteguk susu
dan anaknya menyusu seteguk melainkan setiap teguk itu berpahala satu kebaikan.
Dan jika ia tidak tidur semalam maka ia mendapatkan pahala seperti pahala
memerdekakan tujuh puluh budak di jalan Allah dengan ikhlas.” (HR. Al Hasan bin
Sufyan, Thabrani dan Ibnu Asakir).
Islam secara jelas dan tegas telah
menempatkan peran keibuan dalam kedudukan yang mulia. Allah SWT telah
memberikannya dengan tepat kepada perempuan untuk menjalankan peran sebagai
ibu. Namun, kalangan yang memusuhi Islam terhadap kaum ibu dengan memunculkan
opini bahwa nash-nash syara’ tersebut telah mendiskriminasikan dan merendahkan
perempuan. Mereka berpendapat dalil-dalil ini telah membuat perempuan
tertinggal dalam kehidupan publik dan tidak memiliki kekuatan (power) untuk
menentukan pilihan-pilihan di dalam hidupnya. Anggapan ini jelas merupakan
asumsi yang jauh dari kebenaran tentang hakekat peran ibu.
Peran ibu bukanlah pelengkap semata,
namun memiliki porsi tersendiri. Peran ini adalah amanah yang menempatkan
perempuan sebagai manager dalam rumah tangga suaminya. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW: “seorang perempuan adalah manager yang bertanggung jawab
atas rumah suaminya dan anaknya, dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya” (HR Muslim).
Islam
telah memberikan tanggung jawab kepada ibu terhadap anak-anaknya tidak hanya
terkait dengan pengasuhan dan perawatan. Namun, selain itu seorang ibu juga
bertanggung jawab terhadap pendidikan terutama pada saat anak masih berusia
dini. Kedua peran ini dilakukan secara bersamaan oleh seorang ibu dan tidak
dapat digantikan oleh siapapun.
Semasa pemerintahan Islam,
pendidikan untuk anak-anak di bawah 7 tahun dibimbing langsung oleh orang
tuanya. Keberhasilan pendidikan yang dilakukan para ibu terhadap anak-anak
mereka yang berusia dini pada masa era Islam terbukti telah menghasilkan
orang-orang besar di bumi ini, antara lain:
  • 1. Imam Syafi’i hafal Al-Qur’an usia 7tahun dan hafal kitab hadist Al-Muwaththa’ umur 10 tahun
  • 2. Ibnu Sina hafal dan menekuni Al-Qur’an
  • usia 10 tahun
  • 3. Sahl bin Abdullah At-Tustari membaca,
  • belajar dan menghafal Al-Qur’an usia 6 atau 7 tahun
  • 4. Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin
  • Abdurrahman Al Bahani hafal Al-Qur’an usia 5 tahun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar